sejarah hidup nabi muhammad bag 5


 
	BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
	Muhammad Husain Haekal
	
	   Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
	   membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
	   - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
	   Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
	   putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
	   Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
	   pertama.
	
	DENGAN duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad
	melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
	rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup
	suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai
	pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu
	muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
	yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk
	kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh
	beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua
	anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah
	menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih
	hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap
	anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia
	dan hormat kepadanya.
	
	Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak
	terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
	besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus.
	Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung
	lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di
	tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih
	menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
	yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan
	gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher
	panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang
	bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
	tangan dan kakinya yang tebal.
	
	Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah
	cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
	penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan,
	membuat orang patuh kepadanya.
	
	Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah
	cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila
	Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang
	memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya
	menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
	
	Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
	dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan
	harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
	rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang
	diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang
	baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi
	pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan
	mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
	dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang
	sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi.  Bila   ada   yang
	mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa
	menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
	mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya.
	Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila
	bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
	tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi
	yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia
	tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
	sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya
	tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa
	amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
	oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan
	menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah
	bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan
	keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya.
	Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan
	meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
	bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba,
	sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
	dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
	
	Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup
	kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang
	sungguh setia itu.
	
	Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga
	partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada
	waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar
	yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan
	dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
	pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
	beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang
	berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
	bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi
	beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana
	kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
	diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam
	barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan
	demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
	
	Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
	adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan
	ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah
	kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
	dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
	seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal
	perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka
	berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
	Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
	sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah
	guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum
	menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
	Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
	tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan
	Baqum.
	
	Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
	kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun
	kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka
	masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian
	al-Walid   bin'l-Mughira   tampil   ke  depan  dengan  sedikit
	takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia
	merombak   bagian   sudut   selatan.3   Tinggal   lagi   orang
	menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap
	al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi
	apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan
	batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
	
	Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
	situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu
	sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
	sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu
	granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai.
	Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya
	meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
	sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy,
	siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
	di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga
	hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga
	Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan
	kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
	ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga
	Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka
	dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka.
	Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
	darah.'
	
	Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang
	tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah
	melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
	
	"Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama
	sekali memasuki pintu Shafa ini."
	
	Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
	tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
	keputusannya."
	
	Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun
	mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa
	berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu
	katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain
	dibawakan   dihamparkannya   dan   diambilnya  batu  itu  lalu
	diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya;
	"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
	
	Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu
	akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
	dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
	itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
	
	Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi
	delapanbelas  hasta  (±  11 meter), dan ditinggikan dari tanah
	sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang
	orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang
	dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang
	sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan
	Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan
	barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan
	diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
	
	Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan
	keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan
	pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
	Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
	itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
	jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
	memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil
	batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
	dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa
	tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
	penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
	
	Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan
	La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan
	kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
	bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
	
	Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan
	Abd'l-Muttalib   sekarang   sudah   tak   ada   lagi.   Adanya
	pertentangan  kekuasaan  antara  keluarga  Hasyim dan keluarga
	Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali
	pengaruhnya.
	
	Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
	membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena
	adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
	Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
	wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan
	kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian
	pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
	masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
	mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
	dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati
	penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun
	pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
	adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
	sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama
	yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
	ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir.
	Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah,
	ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan
	perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik
	kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan
	hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah
	hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
	
	Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu
	hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
	berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam
	meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr,
	Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b.
	Naufal.
	
	Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
	ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya
	kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak,
	merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah
	korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara,
	marilah kita mencari agama lain, bukan ini."
	
	Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
	Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
	Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya.
	Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
	pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
	-  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai
	kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan
	Umm'l-Mu'minin.
	
	Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
	pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
	Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
	atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan
	menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke
	dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara
	bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan
	kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."
	
	Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah,
	pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
	kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga,
	bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan
	Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi
	penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
	Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah.
	Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu
	Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
	
	Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk
	Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan
	dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur
	dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
	telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
	dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
	Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
	Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
	mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
	sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu
	meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian
	juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
	
	Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
	pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya
	itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
	melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan,
	ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena
	kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh
	suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup
	terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah
	duduk-duduk di sampingnya
	
	Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
	sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan
	anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
	laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan
	lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya
	kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
	tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan
	dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian
	dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin
	Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia
	menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
	merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
	pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam
	mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan
	sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki
	ibu.
	
	Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian
	kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan
	pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya
	tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu
	menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan
	sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
	buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
	
	Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan
	tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak
	berguna sama sekali.
	
	Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan
	perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
	memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan
	Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
	dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat
	karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan.
	Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah
	datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke
	Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih
	terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
	'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri
	ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
	menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang
	kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
	
	Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
	baru sesudah datangnya Islam.
 
	                                    (bersambung ke bagian 2/2)
 
	---------------------------------------------
	S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
	oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
	diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
	Penerbit PUSTAKA JAYA
	Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
	Cetakan Kelima, 1980
 
	Seri PUSTAKA ISLAM No.1